ada hanyalah laut di antara dua pulau. Lalu kedua pulau itu
bertabrakan. Maka jadilah pulau Sulawesi. Itu sebabnya pinggangnya
bergunung-gunung, banyak sungai, dan banyak besi, banyak emas” Begitulah
kata-kata orang tua (pakada tomatua).
Mitologi Toraja lain lagi, dalam
mitologi toraja digambarkan bahwa penutup bumi dulunya terlalu kecil,
sehingga para dewata mengurut-urut bola bumi, supaya bajunya pas.
Tahu-tahu, kebesaran, sehingga terjadilah kerut-kerut dan
lipatan-lipatan yang merupakan asal usul gunung gunung.
mitologi toraja digambarkan bahwa penutup bumi dulunya terlalu kecil,
sehingga para dewata mengurut-urut bola bumi, supaya bajunya pas.
Tahu-tahu, kebesaran, sehingga terjadilah kerut-kerut dan
lipatan-lipatan yang merupakan asal usul gunung gunung.
Profesor John A. Katili, ahli geologi
Indonesia yang merumuskan geomorfologi Pulau Sulawesi bahwa terjadinya
Sulawesi akibat tabrakan dua pulau (Sulawesi bagian Timur dan Sulawesi
bagian Barat) antara 19 sampai 13 juta tahun yang lalu, terdorong oleh
tabrakan antara lempeng benua yang merupakan fundasi Sulawesi Timur
bersama Pulau-Pulau Banggai dan Sula, yang pada gilirannya merupakan
bagian dari lempeng Australia, dengan Sulawesi Barat yang selempeng
dengan pulau-pulau Kalimantan, Jawa dan Sumatra, Sulawesi menjadi salah
satu wilayah geologis paling rumit di dunia.
Indonesia yang merumuskan geomorfologi Pulau Sulawesi bahwa terjadinya
Sulawesi akibat tabrakan dua pulau (Sulawesi bagian Timur dan Sulawesi
bagian Barat) antara 19 sampai 13 juta tahun yang lalu, terdorong oleh
tabrakan antara lempeng benua yang merupakan fundasi Sulawesi Timur
bersama Pulau-Pulau Banggai dan Sula, yang pada gilirannya merupakan
bagian dari lempeng Australia, dengan Sulawesi Barat yang selempeng
dengan pulau-pulau Kalimantan, Jawa dan Sumatra, Sulawesi menjadi salah
satu wilayah geologis paling rumit di dunia.
Sederhananya boleh dikata bahwa busur
Sulawesi Barat lebih vulkanis, dengan banyak gunung berapi aktif di
Sulawesi Utara dan vulkan mati di Sulawesi Selatan. Sedangkan busur
Sulawesi Timur, tidak ada sisa-sisa vulkanisme, tapi lebih kaya mineral.
Sumber-sumber minyak dan gas bumi dari zaman Tertiary tersebar di
kedua busur itu, terutama di Teluk Tomini, Teluk Tolo, Teluk Bone,
serta di Selat Makassar.
Sulawesi Barat lebih vulkanis, dengan banyak gunung berapi aktif di
Sulawesi Utara dan vulkan mati di Sulawesi Selatan. Sedangkan busur
Sulawesi Timur, tidak ada sisa-sisa vulkanisme, tapi lebih kaya mineral.
Sumber-sumber minyak dan gas bumi dari zaman Tertiary tersebar di
kedua busur itu, terutama di Teluk Tomini, Teluk Tolo, Teluk Bone,
serta di Selat Makassar.
Perbedaan geomorfologi kedua pulau yang
bertabrakan secara dahsyat itu menciptakan topografi yang bergulung
gulung, di mana satu barisan gunung segera diikuti barisan gunung lain,
yang tiba-tiba dipotong secara hampir tegak lurus oleh barisan gunung
lain. Kurang lebih seperti kalau taplak meja disorong dari beberapa
sudut dan arah sekaligus.Makanya jarang kita bisa mendapatkan
pemandangan seperti di Jawa, Sumatera, atau Kalimantan, di mana
gununggunung seperti kerucut dikelilingi areal persawahan atau hutan
sejauh mata memandang. Kecuali di Sulawesi Selatan (itupun di selatan
Kabupaten Enrekang), kita sulit menemukan hamparan tanah pertanian yang
rata.
bertabrakan secara dahsyat itu menciptakan topografi yang bergulung
gulung, di mana satu barisan gunung segera diikuti barisan gunung lain,
yang tiba-tiba dipotong secara hampir tegak lurus oleh barisan gunung
lain. Kurang lebih seperti kalau taplak meja disorong dari beberapa
sudut dan arah sekaligus.Makanya jarang kita bisa mendapatkan
pemandangan seperti di Jawa, Sumatera, atau Kalimantan, di mana
gununggunung seperti kerucut dikelilingi areal persawahan atau hutan
sejauh mata memandang. Kecuali di Sulawesi Selatan (itupun di selatan
Kabupaten Enrekang), kita sulit menemukan hamparan tanah pertanian yang
rata.
Sederhananya, Sulawesi adalah pulau
gunung, lembah, dan danau, sementara dataran yang subur, umumnya
terdapat di sekeliling danau-danau yang bertaburan di keempat lengan
pulau Sulawesi. Ekologi yang demikian ikut menimbulkan begitu banyak
kelompok etno-linguistik. Setiap kali satu kelompok menyempal dari
kelompok induknya dan berpindah menempati sebuah lembah atau dataran
tinggi di seputar danau, kelompok itu terpisah oleh suatu benteng alam
dari kelompok induknya, dan lewat waktu puluhan atau ratusan tahun,
mengembangkan bahasa sendiri. Geomorfologi yang khas ini menyebabkan
pinggang Sulawesi Tana Luwu dan Tana Toraja di provinsi Sulawesi
Selatan, bagian selatan Kabupaten Morowali, Poso, dan Donggala di
provinsi Sulawesi Tengah, dan bagian pegunungan provinsi Sulawesi Barat
sangat kaya dengan berbagai jenis bahan galian.Batubara terdapat di
sekitar Enrekang, Makale, dan Sungai Karama.
gunung, lembah, dan danau, sementara dataran yang subur, umumnya
terdapat di sekeliling danau-danau yang bertaburan di keempat lengan
pulau Sulawesi. Ekologi yang demikian ikut menimbulkan begitu banyak
kelompok etno-linguistik. Setiap kali satu kelompok menyempal dari
kelompok induknya dan berpindah menempati sebuah lembah atau dataran
tinggi di seputar danau, kelompok itu terpisah oleh suatu benteng alam
dari kelompok induknya, dan lewat waktu puluhan atau ratusan tahun,
mengembangkan bahasa sendiri. Geomorfologi yang khas ini menyebabkan
pinggang Sulawesi Tana Luwu dan Tana Toraja di provinsi Sulawesi
Selatan, bagian selatan Kabupaten Morowali, Poso, dan Donggala di
provinsi Sulawesi Tengah, dan bagian pegunungan provinsi Sulawesi Barat
sangat kaya dengan berbagai jenis bahan galian.Batubara terdapat di
sekitar Enrekang, Makale, dan Sungai Karama.
Juga di Sulawesi Barat sebelah utara, di
mana terdapat tambang batubara dan banyak jenis logam tersebar di
berbagai pelosok Sulawesi. Tembaga dan nikel terdapat di sekitar
Danau-Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Bijih besi bercampur nikel,
yang diduga berasal dari meteor, memungkinkan lahirnya pandai besi di
lembah-lembah Rampi, Seko dan Rompong di hulu Sungai Kalaena (Luwu
Utara) dan di Ussu, dekat Malili (Luwu Timur), yang ilmunya ditularkan
ke pandai besi asal Toraja, yang selanjutnya menularkannya ke pandai
besi Bugis. Guratan besi-nikel itu dikenal sebagai pamor Luwu atau pamor
Bugis oleh empu penempa keris di Jawa, dan membuat Kerajaan Luwu kuno
dikenal sebagai pengekspor besi Luwu. Di masa kini, salah satu pusat
konsentrasi pandai besi Toraja letaknya di lereng Sesean, gunung
tertinggi di Tana Toraja. Bijih emas pun banyak terdapat di pinggang
Sulawesi, karena biasanya mengikuti keberadaan bijih tembaga. (Dari
berbagai Sumber)
mana terdapat tambang batubara dan banyak jenis logam tersebar di
berbagai pelosok Sulawesi. Tembaga dan nikel terdapat di sekitar
Danau-Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Bijih besi bercampur nikel,
yang diduga berasal dari meteor, memungkinkan lahirnya pandai besi di
lembah-lembah Rampi, Seko dan Rompong di hulu Sungai Kalaena (Luwu
Utara) dan di Ussu, dekat Malili (Luwu Timur), yang ilmunya ditularkan
ke pandai besi asal Toraja, yang selanjutnya menularkannya ke pandai
besi Bugis. Guratan besi-nikel itu dikenal sebagai pamor Luwu atau pamor
Bugis oleh empu penempa keris di Jawa, dan membuat Kerajaan Luwu kuno
dikenal sebagai pengekspor besi Luwu. Di masa kini, salah satu pusat
konsentrasi pandai besi Toraja letaknya di lereng Sesean, gunung
tertinggi di Tana Toraja. Bijih emas pun banyak terdapat di pinggang
Sulawesi, karena biasanya mengikuti keberadaan bijih tembaga. (Dari
berbagai Sumber)
Menurut para ahli Geologi, bahwa terbentuknya pulau Sulawesi yang terjadi secara alamiah oleh proses alam, memang berbeda dengan proses terbentuknya pulau-pulau yang lain di Negara Kepulauan Nusantara ini, bahkan hanya beberapa pulau di dunia yang mempunyai kesamaan dalam proses terbentuknya. Pulau Sulawesi terbentuk dari proses Endogen, yaitu proses yang terjadi karena adanya Pengangkatan dari dalam perut bumi. Artinya pembentukan pulau Sulawesi terjadi dengan sendirinya, tidak seperti pulau-pulau lain yang proses pembentukannya merupakan hasil Patahan/Pelepasan Daratan dari suatu Daratan Utama/Benua. Seperti pulau Jawa yang dulunya bersatu dengan pulau Sumatra dan bersatu dengan Malaysia terus ke daratan Asia. Pulau Kalimantan dulunya bersatu dengan sebagian daerah Malaysia terus ke Philipina terus ke daratan Asia. Pulau Maluku dulunya bersatu dengan Irian Jaya (kini Papua) bersatu dengan Papua New Guinea terus ke daratan Australia. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya persamaan flora (tumbuhan) dan fauna (hewan) di antara masing-masing wilayah tersebut. Berbeda halnya dengan pulau Sulawesi yang memang dulunya terbentuk dengan sendirinya dari proses Endogen. Jadi pulau Sulawesi terbentuk bukan dari proses perpisahan daratan oleh proses alam dari dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia apalagi benua-benua lain. Hal ini terbukti dari ada beberapa jenis flora dan fauna yang tidak ada samanya di dunia, sebagai contoh hewan Anoang (sejenis hewan Rusa) dan hewan Kerbau Belang (Tedong Bonga) di Tana Toraja.
PROSES TEKTONIK YANG MEMBENTUK PULAU SULAWESI
Mungkin anda masih ingat tentang pelajaran Geografi di Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah Pertama, bahwa fauna di pulau Sulawesi sungguhlah unik. Fauna di sana seperti perpaduan antara fauna dari daerah Asia dengan fauna dari daerah Australia. Mengapa demikian ? Dalam sejarah geologi yang panjang, Sulawesi terbentuk sebagai hasil tumbukan 2 jalur daratan yang mengapung. Pembentukan daratan yang baru membawa dampak : ekologi yang unik. Setiap lempeng menempatkan jejak yang masih dapat ditemui hingga kini. Beberapa spesies yang hidup di danau Matano ( sebuah danau di pulau Sulawesi ), seperti kepiting Parathelphusidae memiliki kerabat dekat dengan yang ada di selat Torres Australia ; ikan Telmatherinid masih berhubungan dengan daratan Papua ; jenis dari lempeng Pasifik terdapat ikan Glossogobius ; dan Asia menyumbangkan ricefish. Studi di wilayah ini menambah daftar keunikan hayati kawasan Wallacea, yang berasal dari sebuah garis maya yang membagi wilayah fauna bagian barat dan timur melalui laut dalam.
Berikut skema terbentuknya Pulau Sulawesi :
EOSEN ( 65-40 juta tahun yang lalu )
Proses pembentukan pulau Sulawesi yang unik telah melalui proses yang juga unik yaitu hasil akhir dari sebuah kejadian apungan benua yang diawali 65 juta tahun lalu. Saat itu ada 2 daratan yaitu cikal bakal kaki Sulawesi Tenggara dan Timur, dan cikal bakal kaki Sulawesi Selatan, Barat dan Utara. Kedua apungan daratan itu terbawa bergerak ke barat menuju Borneo ( sekarang bernama Kalimantan ). Proses tumbukan akibat apungan lempeng benua itu menyebabkan kedua daratan itu mulai terkumpul menjadi satu daratan baru.
MIOSEN ( 40-20 juta tahun yang lalu )
Pada zaman ini pergerakan lempeng kearah barat disertai dengan persesaran yang menyebabkan mulai terjadi perubahan ekstrim bentuk daratan. Bagian tengah ketiga daratan itu tertekuk akibat benturan atau pergeseran, sebuah proses yang lebih kuat dibandingkan apa yang terjadi di kedua ujung atas dan bawahnya ( daratan utara dan selatan ). Proses tektonik berlangsung kuat di daerah yang tertekuk itu sehingga menyebabkan pencampur-adukan jenis-jenis batuan yang berasal dari lingkungan pengendapan yang berbeda.
PLIOSEN ( 15-6 juta tahun yang lalu )
Hingga zaman ini proses penumbukan kedua daratan itu terus berlangsung, bahkan apungan hasil tumbukan terus bergerak hingga mendekat ke daratan Kalimantan lalu berhenti di sana. Persesaran yang telah mulai sejak zaman Miosen masih terus berlangsung, bahkan berdampak apada pemisahan kelompok batuan dari kawasan di sekitar danau Poso dan kelompok batuan sekitar danau Matano. kedua kelompok batuan ini meski lokasinya berdampingan, namun memperlihatkan asosiasi batuan yang berbeda.
Pada zaman ini mulai berlangsung fenomena baru, yaitu proses pemekaran dasar samudra di laut antara Kalimantan dan Sulawesi ( sekarang dikenal dengan selat Makasar ). Pemekaran dasar samudra ini menyebabkan cikal bakal atau pulau Sulawesi purba. Dan pulau Sulawesi purba ini kembali bergerak ke timur menjauhi Kalimantan. kecepatan gerakan apungan di atas lempeng benua adalah peristiwa yang berlangsung perlahan namun konsisten dengan laju beberapa centimeter pertahun.
Sumber : National Geographic Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar