Kamis, 05 April 2012

Watu Pinawetengan


Watu PinawetenganWatu Pinawetengan adalah sebuah situs batu megalitikum berukuran besar berbentuk unik dengan tulisan dan torehan yang sampai sekarang masih belum bisa diurai maknanya, namun dipercaya sebagai situs yang sangat bersejarah dan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Minahasa. Situs Watu Pinawetengan ini disimpan di dalam sebuah cungkup di lereng Gunung Soputan, Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Watu Pinawetengan
Belokan yang menuju ke arah Watu Pinawetengan dari Jalan Minahasa – Langowan, yang saat itu tertutup karena tengah dalam perbaikan. Perbaikan jalan ini tampaknya berkaitan dengan sebuah acara yang akan diselenggarakan pada 7 Juli lalu di Watu Pinawetengan. Lokasi belokan ada pada posisi GPS: 1.19522, 124.79406.
Mobil pun lalu berjalan terus ke arah selatan sejauh beberapa puluh meter sampai menemukan belokan ke arah kanan, sebagai jalur alternatif menuju ke arah Watu Pinawetengan.
Watu Pinawetengan
Memandikan kuda dengan air pegunungan yang jernih. Pemandang lain saat menuju Watu Pinawetengan. Bendi yang ditarik seekor kuda masih merupakan alat transportasi yang banyak ditemui dan disukai di wilayah ini.
Watu Pinawetengan
Sebuah bangunan di atas perbukitan di sebelah situs Watu Pinawetengan, dengan tempat duduk bertingkat di bawahnya yang dipergunakan para pengunjung untuk melihat upacara adat tahunan yang diselenggarakan setiap tanggal 7 Juli oleh Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, yang diantaranya mengambil tempat di area yang terlihat di latar depan.
Watu Pinawetengan
Cungkup putih berbentuk tutup waruga yang disangga 9 tiang bercat merah, dengan patung burung Manguni di kedua puncaknya. Di bawah cungkup waruga inilah, di dalam sebuah lubang besar, tersimpan situs Watu Pinawetengan. Tidak lama setelah kami tiba, datanglah Ari Ratumbanua, petugas penjaga situs Watu Pinawetengan yang ramah dan menemani kami selama berkunjung ke situs ini.
Watu Pinawetengan
Sebuah poster menempel di dinding bangunan cungkup waruga yang menceritakan kisah seputar batu bersejarah Watu Pinawetengan.
Alkisah, seperti tercatat pada poster itu, keturunan To’ar Lumi’muut (nenek moyang orang Minahasa) telah berkembang memenuhi wilayah pemukiman awal mereka, yaitu Tu’ur in Tana. Sampai suatu ketika datang musibah serta bencana alam beruntun yang menjadi peringatan agar mereka mengosongkan Tu’ur in Tana dan menemukan lahan penghidupan baru.
Atas petunjuk Manguni mereka harus berjalan menentang jalannya matahari, yaitu ke arah Timur dan lalu berbelok ke arah Utara dan sampai di sekitar Sumeseput. Menurut mitos para leluhur orang Minahasa, Burung Manguni (mauni berarti mengamati) adalah ciptaan Opo atau Roh paling atas penguasa langit dan bumi. Opo Empung Wananatas menugaskan burung Manguni untuk menjaga keselamatan keturunan Toar-Lumimuut dengan berjaga-jaga pada malam hari, tidak boleh tidur, dan diberi kemampuan bersiul dengan bunyi berbeda untuk menandai keadaan aman atau bahaya.
Setelah melalui berbagai rintangan dan penderitaan, mereka tiba di sebuah perbukitan yang dinamai Tonderukan dengan pemandangan yang sangat indah dan lahan luas yang amat subur. Sesuai petunjuk Manguni – Makasiyow, di salah satu sisi tempat itu tegaklah Gunung Soputan (Semesepul). Para Kumeter, pemimpin mapalus, pun segera membangun pemukiman di sebuah tempat yang dinamai Ranolesi, yang terletak diantara Desa Tumaratas dan Tou’ure sekarang.
Watu Pinawetengan
Inilah salah satu bagian atas Watu Pinawetengan dengan goresan-goresan pada permukaannya, yang diantaranya berbentuk tubuh manusia, alat kelamin, dan goresan lain yang artinya masih belum bisa diungkap para ahli purbakala. Tulisan berlambang ini, menurut Ari Ratumbanua, mirip dengan tulisan yang di temui di Gua Angona di Filipina.
Di tempat hunian baru, para Walian menyiapkan upacara kurban syukur, dan mencari tempat untuk mendirikan tumotowa, sebuah batu yang menjadi mezbah (altar) ritual sekaligus menandai berdirinya pemukiman suatu komunitas. Walian adalah orang tua yang dianggap dapat berhubungan dengan roh para Apok (leluhur yang dianggap berkuasa di suatu daerah yang selalu dihormati, disembah dan dipuja).
Watu Pinawetengan
Sisi lain dari Watu Pinawetengan, dengan sebuah undakan terlihat di sisi atas yang dipergunakan untuk turun ke dasar lubang dimana Watu Pinawetengan berada.
Watu Pinawetengan inilah yang dijadikan tumotowa oleh para leluhur Minahasa di tempat baru, yang merupakan sebuah altar alamiah berupa batu besar memanjang dari timur ke barat. Pada saat ditemukan, di atas batu besar ini bertengger burung Manguni, sementara batu-batu lain di sekitarnya ditunggui oleh ular hitam. Batu besar ini lalu dinyatakan sebagai tumotowa wangko (mezbah atau altar agung).
Dengan dipimpin Tonaas Wangko mereka pun melangsungkan upacara dengan kurban bakaran sangat banyak berupa sejumlah hewan hutan hasil buruan para waraney. Waraney adalah orang-orang terpilih, yang menjadi prajurit sesudah terlebih dahulu membuktikan kepiawaian dan keahlian dalam berkelahi dan bertempur.
Di Watu Pinawetengan inilah dicetuskan “Nuwu i Tu’a” (amanat yang dituakan) atau yang kemudian lebih terkenal sebagai Amanat Watu Pinawetengan, yaitu:
Bahwa tanah ini adalah milik kita bersama.
Sesuai petunjuk Sang Manguni. Bagi-bagikanlah tanah ini.
Rambahilah tapa-tapal batas baru lahan penghidupan, wahai pekerja!
Kuasai dan pertahankanlah wilayah, wahai satria!
Agar keturunan kita dapat hidup dan memberi kehidupan!
Akad se tu’us tumou o tumou tou !
Watu Pinawetengan
Inilah bentuk utuh Watu Pinawetengan yang bagi sebagian orang menyerupai bentuk orang bersujud, sedangkan bagi orang lain menyerupai peta daerah Minahasa. Watu Pinawetengan ini tingginya 2 meter dengan panjang 4 meter.
Oleh para leluhur, altar atau mezbah utama ini disebut Watu Pinawetengan (yang berarti Batu Tempat Pembagian), karena di batu inilah dirundingkan dan diamanatkan pembagian wilayah pemukiman baru bagi sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selanjutnya Watu Pinawetengan ini menjadi tempat pertemuan para pemimpin anak-anak suku bangsa Minahasa setiap kali mereka menghadapi persoalan besar dan membutuhkan pengukuhan kembali setia maesaan (persatuan).
Watu Pinawetengan
Batu berukuran lebih kecil di sekitar Watu Pinawetengan yang konon sewaktu ditemukan ditunggui oleh ular hitam. Selama berabad-abad lamanya Watu Pinawetengan ini sempat hilang ditelan bumi, meskipun demikian di atas tempat tersebut para Walian dari generasi ke generasi selalu datang melangsungkan upacara adat.
Penggalian Watu Pinawetengan dilakukan tahun 1888, sesuai hasil analisa J.A.T. Schwartz dan J.G.F. Riedel (masing-masing adalah putra Pdt. J.G. Schwartz dan Pdt. J.F. Riedel – dua misionaris yang berperan penting menginjil Minahasa), berdasarkan petunjuk sejumlah tuturan dan sastra lisan yang diwarisi dari orang-orang tua.
Rangkaian tulisan di atas tertera pada poster yang menempel di dinding cungkup waruga Watu Pinawetengan yang dibuat Dr Benny J. Mamoto, Ketua Umum Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, dalam rangka upacara adat tahunan pada 07-07-2007 .
Watu Pinawetengan
Dari pembicaraan dengan Fendy Parengkuan, dosen Universitas Sam Ratulangi di Tondano Minahasa, secara sederhana ada dua pesan inti yang dicetuskan oleh para pemimpin suku yang bertemu pada sekitar abad keempat di Watu Pinawetengan ini sebelum mereka berpisah.
Pesan pertama adalah: Pute Waya, yang artinya ‘semua sederajat’. Iniliah akar budaya Minahasa yang menanamkan konsep demokratis, sehingga tidak pernah ada kerajaan besar dengan budaya feodal di daerah Minahasa. Para pemimpin suku selalu dipilih secara demokratis dengan persyaratan yang ditentukan oleh kelompok. Jika pemimpin tidak lagi memenuhi persyaratan, mereka bisa diganti, dan tidak bersifat turun temurun.
Pesan kedua adalah Nuwu I Ngeluan: Sa kita esa, sumerar! Sa kita sumerar, esa kita! Yang artinya adalah: kalau kita sudah benar-benar merasa satu, marilah kita menyebar! Kalau pun kita tersebar kemana-mana, satu kita!
Watu Pinawetengan bisa saja hanya berbentuk sebuah batu besar yang tidak bernyawa dan masih menyimpan misteri, namun makna keberadaannya tampaknya sangat dalam karena dari sinilah bermula akar budaya Minahasa yang demokratis, serta konsep persatuan yang mendasari hubungan antar suku di Minahasa, yang diperkuat dengan keyakinan bahwa “Torang samua basudara”.

Watu Pinawetengan

Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso
Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar